‘Azl (coitus interruptus) adalah metode tarik-keluar, yakni teknik di mana ketika berhubungan intim, seorang pria menarik penis dari vagina wanita sebelum ejakulasi, sehingga mani dikeluarkan di luar vagina. Hal ini dilakukan agar tidak terjadi kehamilan terhadap pasangannya.
‘Azl hukumnya boleh, akan tetapi lebih utama untuk tidak dilakukan. Intinya boleh tapi makruh. Yang menunjukkan kebolehannya ialah hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari Jabir radhiyallahu ‘anhuma, ia menuturkan:
“Kami ber’azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam …”
Begitu pula dari sahabat Jabir radhiyallahu ‘anhuma ia menuturkan:
“Kami ber’azl pada masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam, sedangkan (ayat-ayat) Al-Qur’an (masih) turun.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5209 dalam kitab An-Nikah, Al-Imam Muslim no. 1440 dalam kitab An-Nikah)
Adapun yang menunjukkan makruhnya dan lebih utama untuk ditinggalkan adalah beberapa hal, di antaranya:
1. Ada unsur membahayakan bagi pihak istri, dimana akan mengurangi rasa kenikmatan dirinya.
2. Hilangnya tujuan utama dari sebuah pernikahan, yaitu memperbanyak keturunan.
Diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dari Abu Sa’id al-Khudri radhiyallahu ‘anhu, ia mengatakan: “Kami mendapatkan tawanan wanita, lalu kami melakukan ‘azl, kemudian kami bertanya kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wassalam maka beliau shallallahu ‘alaihi wassalam menjawab:
“Apakah kalian benar-benar melakukannya? -beliau mengulanginya sebanyak tiga kali-. Tidak ada satu jiwa pun yang ada hingga hari Kiamat melainkan dia tetap ada.” (HR. Al-Imam Al-Bukhari no. 5210 kitab An-Nikaah, Al-Imam Muslim no. 1438 kitab An-Nikaah, Al-Imam At-Tirmidzi no. 1138 kitab An-Nikaah)
Ibnu Hajar rahimahullahu berkata, ini menunjukkan bahwa Nabi tidak secara lugas menyatakan pelarangan ‘azl terhadap mereka, akan tetapi hanya memberi isyarat bahwa yang lebih utama adalah ditinggalkan.
Para ahli ilmu mengatakan bahwa tidak boleh ber’azl terhadap wanita merdeka (bukan budak) kecuali dengan ijinnya, yakni seorang suami tidak boleh ber’azl terhadap istri, karena sang istri memiliki hak dalam masalah keturunan. Dan ber’azl tanpa ijin istri mengurangi rasa nikmat seorang wanita, karena kenikmatan seorang wanita tidaklah sempurna kecuali sesudah tumpahnya air mani suami. Berdasarkan keterangan ini maka ‘azl tanpa ijin berarti menghilangkan kesempurnaan rasa nikmat yang dirasakan seorang istri dan juga menghilangkan adanya kemungkinan untuk mendapatkan keturunan. Karena ini kami mensyaratkan adanya ijin dari sang istri.”
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar