Hukum Jima’ Menghadap dan Membelakangi Kiblat

Dari Abu Ayyub Al-Anshari radhiallahu anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِذَا أَتَيْتُمْ الْغَائِطَ فَلَا تَسْتَقْبِلُوا الْقِبْلَةَ وَلَا تَسْتَدْبِرُوهَا

“Jika kalian mendatangi masuk ke dalam WC, maka janganlah kalian menghadap ke arah kiblat dan jangan pula membelakanginya.” (HR. Al-Bukhari no. 380 dan Muslim no. 388)
Hadits ini di antara dalil yang digunakan oleh para ulama yang melarang buang air menghadap dan membelakangi kiblat. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai sebab larangan ini menjadi 3 pendapat:

1. Sebabnya adalah adanya najis yang keluar.
2. Sebabnya adalah membuka aurat.
3. Kedua sebab ini merupakan sebab larangan di atas.

Dari perbedaan pendapat di atas inilah dan juga perbedaan dalam hal najis tidaknya mani, dibangun perbedaan pendapat dalam masalah jima’ menghadap kiblat.

Bagi yang berpendapat dengan pendapat yang pertama, maka dia membolehkan jima’ menghadap dan membelakangi kiblat karena tidak adanya najis yang keluar.

Sementara bagi yang berpendapat dengan pendapat pertama dan ketiga dan berpendapat akan najisnya mani, maka dia akan melarang jima’ menghadap dan membelakangi kiblat karena adanya najis yang keluar.

Sementara yang berpendapat dengan pendapat kedua maka dia akan melarang jima’ menghadap dan membelakangi kiblat secara mutlak. Bahkan kelazimannya akan melarang mandi atau tidur telanjang menghadap dan membelakangi kiblat, karena adanya amalan memperlihatkan aurat.

Sementara yang berpendapat dengan pendapat ketiga tapi tidak menganggap mani itu najis, maka mereka tetap memperbolehkannya karena kedua sebab itu tidak berkumpul.

Kesimpulannya, ada 2 pendapat dalam masalah hukum jima’ menghadap dan membelakangi kiblat:
Pendapat pertama: Tidak membolehkan. Ini adalah pendapat Ibnu Habib dan sebagian Al-Malikiah.
Pendapat kedua: Boleh jima’ menghadap dan membelakangi kiblat. Ini adalah pendapat Abu Hanifah, Ahmad, dan Daud Azh-Zhahiri.

Dan pendapat yang lebih kuat insya Allah pendapat kedua. Hal itu dikarenakan menurut pendapat yang paling kuat: Mani bukanlah najis dan sebab larangan dalam hadits Abu Ayyub di atas adalah karena adanya najis yang keluar, bukan karena terbukanya aurat. Maka tatkala mani bukanlah najis dan tidak ada dalil yang tegas dan shahih melarang dari membuka aurat menghadap dan membelakangi kiblat, maka pendapat yang paling kuat adalah pendapat yang membolehkan jima’ menghadap dan membelakangi kiblat, dan pendapat inilah yang dikuatkan oleh Imam Ibnu Al-Mulaqqin rahimahullah dalam Al-I’lam: 1/450. Wallahu a’lam.

Adapun menyentuh kemaluan antara suami istri, maka hal itu diperbolehkan berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala yang artinya, “Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, maka datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu kehendaki.” (QS. Al-Baqarah: 223)

Dan juga sabda Nabi shallallahu alaihi wasallam tentang yang dibolehkan dari wanita haid:

اصْنَعُوا كُلَّ شَيْءٍ إِلَّا النِّكَاحَ

“Perbuatlah segala sesuatu kecuali jima’”. (HR. Muslim no. 455)
Dan ‘segala sesuatu’ di sini mencakup menyentuh kemaluan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages