Hukum BANCI dan TOMBOY

Salah satu kebanggaan kita sebagai kaum Muslimin ialah syariat Islam itu sendiri. Kita bangga karena memiliki syariat paling lengkap di dunia. Syariat yang mengatur segalanya, dari perkara yang paling besar hingga yang paling sepele. Semua yang menyangkut kemaslahatan manusia di dunia dan akhirat tak lepas dari tinjauan syariat. Laki-laki, perempuan, tua, muda, besar, kecil, penguasa, rakyat jelata; semuanya diatur secara adil dan bij aksana. Bahkan kaum banci pun tak lepas dari pembahasan.

Benar, kaum banci yang sering menjadi ledekan dan bahan tertawaan, ternyata tidak diabaikan oleh syariat begitu saja, sebab ia juga manusia mukallaf sebagaimana lelaki dan wanita normal. Karenanya, dalam fiqih Islam, kita mengenal istilah mukhannats (banci/bencong), mutarajjilah (wanita yang kelelakian), dan khuntsa (interseks/berkelamin ganda).

Masing-masing dari istilah ini memiliki definisi dan konsekuensi berbeda. Akan tetapi, dua istilah yang pertama biasanya berkonotasi negatif, baik di mata masyarakat maupun syariat. Sedangkan yang ketiga belum tentu demikian.

Untuk lebih jelasnya, perlu diperhatikan definisi para ulama tentang banci dan waria,
berangkat dari hadits shahîh yang diriwayatkan oleh Imam Bukhâri berikut:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ، قَالَ: لَعَنَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ المُخَنَّثِينَ مِنَ الرِّجَالِ وَالمُتَرَجِّلاَتِ مِنَ النِّسَاءِ، وَقَالَ: «أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ: فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فُلاَنًا، وَأَخْرَجَ عُمَرُ فُلاَنًا

َDari Ibnu Abbas, katanya, “Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki mukhannats dan para wanita mutarajjilah. Kata beliau, ‘Keluarkan mereka dari rumah kalian’, maka Nabi Shallallâhu ‘alaihi wa sallam mengusir Si Fulan, sedangkan Umar mengusir Si Fulan”

Dalam riwayat lain disebutkan:

،لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ المُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بالنِّسَاءِ والمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بالرِّجَالِ

Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam melaknat para lelaki yang menyerupai wanita, dan para wanita yang menyerupai laki-laki

Riwayat yang kedua ini menafsirkan tentang yang dimaksud dengan mukhannats dan mutarajjilah dalam hadits yang pertama. Sehingga menjadi jelas bahwa yang dimaksud mukhannats adalah laki-laki yang menyerupai perempuan, baik dari cara berjalan, cara berpakaian, gaya bicara, maupun sifat-sifat feminin lainnya. Sedangkan mutarajjilah adalah wanita yang menyerupai laki-laki dalam hal-hal tersebut.

Secara bahasa, kata mukhannats berasal dari kata dasar khanitsa-yakhnatsu. Artinya, berlaku lembut. Dari istilah umum tersebut, maka istilah banci, bencong, waria cocok untuk mengartikan mukhannats. Sedangkan untuk istilah, mutarajjilah, mungkin terjemahan yang paling mendekati adalah “wanita tomboy”.

Dalam Syarahnya, al-Hafizh Ibnu Hajar rahimahullâh mengatakan, bahwa laknat dan celaan Rasûlullâh Shallallâhu ‘alaihi wa sallam tadi khusus ditujukan kepada orang yang sengaja meniru lawan jenisnya. Adapun bila hal tersebut bersifat pembawaan (karakter asli), maka ia cukup diperintah agar berusaha meninggalkannya semaksimal mungkin secara bertahap. Bila ia tidak mau berusaha meninggalkannya, dan membiarkan dirinya seperti itu, barulah ia berdosa, lebih-lebih bila ia menunjukkan sikap ridha dengan perangainya tadi.

Adapun sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa mukhannats(banci) alami tidak dianggap tercela ataupun berdosa. Maksudnya ialah seseorang yang tidak bisa meninggalkan cara berbicara yang lembut dan gerakan gemulai setelah ia berusaha meninggalkannya. Sedangkan bila ia masih dapat meninggalkannya walaupun secara bertahap, maka ia dianggap berdosa bila melakukannya tanpa udzur.

Dari keterangan tadi, dapat disimpulkan bahwa banci terbagi menjadi dua.


Pertama: Banci alami.
Yaitu seseorang yang ucapannya lembut dan tubuhnya gemulai secara alami, dan ia tidak dikenal sebagai orang yang suka berbuat keji. Maka orang seperti ini tidak dianggap fasik. Dia bukan orang yang dimaksud oleh hadits-hadits di atas sebagai objek celaan dan laknat.

Kedua
: Banci karena sengaja meniru-niru kaum wanita, dengan melembutkan suara ketika berbicara, atau menggerakan anggota badan dengan lemah gemulai. Perbuatan ini adalah kebiasaan tercela dan maksiat yang menjadikan pelakunya tergolong fasik.

Pembagian ini juga berlaku bagi wanita yang menyerupai laki-laki (waria). Sebab pada dasarnya kaum wanita juga terkena perintah dan larangan dalam agama sebagaimana laki-laki, selama tidak ada dalil yang mengecualikannya.

Jadi, tindakan menyerupai lawan jenis yang disengaja bukanlah hal sepele. Tindakan itu tergolong dosa besar dan merupakan perbuatan tercela. Nantinya tidak hanya berpengaruh secara lahiriyah, namun juga merusak kejiwaan. Seorang banci memiliki fisik seperti laki-laki, namun jiwanya menyerupai wanita. Demikian pula waria yang fisiknya wanita, namun jiwanya laki-laki. Mereka sengaja mengubah fisik dan kejiwaan aslinya, sehingga hati mereka pun turut berubah dan rusak karenanya. Oleh sebab itu, kaum banci dan waria jarang sekali mendapat hidayah dan bertaubat dari dosa besar tersebut. Ini merupakan peringatan dari Allâh Ta’âla agar kita mengambil pelajaran darinya, dan bersyukur kepada-Nya yang telah menjadikan kita memiliki jiwa dan raga yang sehat wal afiat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages