Tafsir Tauhid dan Syahadat Laa Ilaha Illallah

Makna Tauhid

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Syaikh Bin Baz rahimahullah berkata, “Tauhid adalah mengesakan Allah ta’ala dalam hal ibadah.” (lihat Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 13)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah berkata, “Ketahuilah, bahwa istilah tauhid -secara mutlak- menunjukkan kepada suatu ilmu dan pengakuan mengenai keesaan Rabb [Allah] dalam hal sifat-sifat kesempurnaan-Nya, pengakuan tentang keesaan-Nya dalam hal sifat-sifat keagungan dan kemuliaan, dan mengesakan Allah semata dalam hal ibadah.” (lihat al-Qaul as-Sadid fi Maqashid at-Tauhid, hal. 11)

Makna Kalimat Syahadat


Syahadat laa ilaha illallah maknanya adalah seorang hamba mengakui dengan lisan dan hatinya bahwa tidak ada ma’bud [sesembahan] yang benar kecuali Allah ‘azza wa jalla. Karena ilah bermakna ma’luh [sesembahan], sedangkan kata ta’alluh bermakna ta’abbud [beribadah]. Di dalam kalimat ini terkandung penafian dan penetapan. Penafian terdapat pada ungkapan laa ilaha, sedangkan penetapan terdapat pada ungkapan illallah. Sehingga makna kalimat ini adalah pengakuan dengan lisan -setelah keimanan di dalam hati- bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah; dan konsekuensinya adalah memurnikan ibadah kepada Allah semata dan menolak segala bentuk ibadah kepada selain-Nya (lihat Fatawa Arkan al-Islam hal. 47 oleh Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah)

Dari sini, kita bisa menyimpulkan bahwa kalimat tauhid ini mengandung makna tauhid uluhiyah atau tauhid ibadah. Yang dimaksud tauhid ibadah adalah mengesakan Allah dengan segala bentuk perbuatan hamba yang bernilai ibadah -secara lahir maupun batin- seperti halnya sholat, puasa, zakat, haji, menyembelih kurban, nadzar, cinta, takut, harap, tawakal, roghbah, rohbah, doa, dan lain sebagainya yang telah disyari’atkan Allah untuk beribadah kepada-Nya. Dengan kata lain, tauhid ibadah adalah menujukan segala bentuk ibadah kepada Allah semata; sehingga barangsiapa yang menujukan ibadah kepada selain Allah maka dia termasuk golongan orang kafir dan musyrik (lihat Ibnu Rajab al-Hanbali wa Atsaruhu fi Taudhih ‘Aqidati as-Salaf [1/297] oleh Dr. Abdullah al-Ghafili)

Kalimat laa ilaha illallah mengandung konsekuensi tidak mengangkat ilah/sesembahan selain Allah. Sementara ilah adalah Dzat yang ditaati dan tidak didurhakai, yang dilandasi dengan perasaan takut dan pengagungan kepada-Nya. Dzat yang menjadi tumpuan rasa cinta dan takut, tawakal, permohonan, dan doa. Dan ini semuanya tidak pantas dipersembahkan kecuali kepada Allah ‘azza wa jalla. Barangsiapa yang mempersekutukan makhluk dengan Allah dalam masalah-masalah ini -yang ia merupakan kekhususan ilahiyah- maka hal itu merusak keikhlasan dan kemurnian tauhidnya. Dan di dalam dirinya terdapat bentuk penghambaan kepada makhluk sesuai dengan kadar ketergantungan hati kepada selain-Nya. Dan ini semuanya termasuk cabang kemusyrikan (lihat Kitab at-Tauhid; Risalah Kalimat al-Ikhlas wa Tahqiq Ma’naha, hal. 49-50)

Dengan demikian, seorang yang telah mengucapkan laa ilaha illallah wajib mengingkari segala sesembahan selain-Nya. Oleh karenanya, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Barangsiapa mengucapkan laa ilaha illallah dan mengingkari segala yang disembah selain Allah, maka terjaga harta dan darahnya. Adapun hisabnya adalah urusan Allah ‘azza wa jalla.” (HR. Muslim dari Thariq bin Asy-yam radhiyallahu’anhu)

Adapun orang yang mengucapkan laa ilaha illallah akan tetapi tidak mengingkari sesembahan selain Allah atau justru berdoa kepada para wali dan orang-orang salih [yang sudah mati] maka orang semacam itu tidak bermanfaat baginya ucapan laa ilaha illallah. Karena hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam itu saling menafsirkan satu sama lain. Tidak boleh hanya mengambil sebagian hadits dan meninggalkan sebagian yang lain (lihat Syarh Tafsir Kalimat at-Tauhid, hal. 12)

Oleh sebab itu penafsiran laa ilaha illallah dengan ‘Tiada pencipta selain Allah’, atau ‘Tiada penguasa selain Allah’, atau ‘Tiada pengatur selain Allah’, dan semacamnya adalah keliru (lihat at-Tauhid li Shaff al-Awwal al-‘Aali, hal. 45 karya Syaikh Shalih al-Fauzan)

Kesalahpahaman ini muncul dari kalangan Mutakallimin/filsafat, Asya’irah dan Mu’tazilah yang mengartikan kata ilah dalam syahadat laa ilaha illallah dengan makna al-Qadir; artinya yang berkuasa. Sehingga mereka menafsirkan laa ilaha illallah dengan tiada yang berkuasa untuk mencipta kecuali Allah. Oleh sebab itu di dalam kitab pegangan mereka semisal Ummul Barahin, dijelaskan bahwa makna ilah adalah Dzat yang tidak membutuhkan selain diri-Nya sedangkan segala sesuatu selain-Nya membutuhkan-Nya. Mereka menyimpangkan makna tauhid uluhiyah kepada tauhid rububiyah. Hal ini pula yang menimbulkan munculnya pemaknaan laa ilaha illallah dengan ‘tiada tuhan selain Allah’, karena istilah tuhan di sini dimaknakan dengan Rabb/pencipta, pengatur dan pemelihara alama semesta. Padahal, yang benar maknanya adalah ‘tiada sesembahan [ma'bud] yang benar selain Allah’ (lihat at-Tam-hid li Syarh Kitab at-Tauhid, hal. 75-76)

Dalil-Dalil al-Qur’an

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya mereka dahulu, apabila dikatakan kepada mereka laa ilaha illallah, maka mereka menyombongkan diri (menolaknya). Mereka berkata: Apakah kami harus meninggalkan sesembahan-sesembahan kami karena mengikuti seorang penyair gila?” (QS. Ash-Shaffat: 35-36)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan mereka [orang-orang musyrik Quraisy] merasa keheranan terhadap seorang pemberi peringatan yang muncul dari kalangan mereka. Orang-orang kafir itu pun berkata: ‘Dia ini adalah penyair lagi tukang dusta. Apakah dia hendak menjadikan ilah-ilah (sesembahan-sesembahan) ini menjadi satu sesembahan saja? Tentu saja ini adalah perkara yang sangat mengherankan’.” (QS. Shaad: 4-5)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah mereka diperintahkan melainkan supaya beribadah kepada Allah dengan memurnikan agama untuk-Nya dengan menjalankan ajaran yang hanif, mendirikan sholat, dan menunaikan zakat. Itulah agama yang lurus.” (QS. Al-Bayyinah: 5)

Syaikh as-Sa’di rahimahullah menerangkan:
Makna ‘tidaklah mereka diperintahkan’ yaitu dalam seluruh syari’at
Makna ‘kecuali untuk beribadah kepada Allah dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ yaitu supaya mereka menujukan segala bentuk ibadah -lahir maupun batin- dalam rangka mencari wajah Allah serta mendapatkan kedekatan diri di sisi-Nya
Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berpaling dari semua agama yang menyelisihi agama tauhid (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [7/657])

Imam Ibnul Jauzi rahimahullah menjelaskan:
Makna ‘dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ yaitu agar mereka bertauhid serta tidak beribadah kepada sesembahan selain-Nya
Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berada di atas ajaran agama Ibrahim (lihat Zaad al-Masir fi ‘Ilmi at-Tafsir, hal. 1576)

Imam al-Baghawi rahimahullah menjelaskan:
Makna ‘tidaklah mereka diperintahkan’ maksudnya adalah orang-orang kafir
Makna ‘dengan mengikhlaskan agama untuk-Nya’ adalah sebagaimana tafsiran Ibnu ‘Abbas. Beliau berkata, “Tidaklah mereka diperintahkan di dalam Taurat maupun Injil kecuali untuk mengikhlaskan ibadah untuk Allah dan melaksanakan tauhid.”
Makna ‘mengikuti ajaran yang hanif’ yaitu berpaling dari semua agama dan hanya condong (memeluk) agama Islam (lihat Tafsir al-Baghawi, hal. 1426)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Diantara tanda kebesaran Allah adalah malam dan siang, matahari dan bulan, maka janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua, jika kalian benar-benar beribadah hanya kepada-Nya.” (QS. Fushshilat: 37)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan maksud dari ayat, “Janganlah kalian sujud kepada matahari atau kepada bulan. Akan tetapi sujudlah kepada Allah yang telah menciptakan itu semua.” Beliau berkata, “Janganlah kalian mempersekutukan hal itu dengan-Nya. Karena tidaklah berguna ibadah kalian kepada-Nya jika kalian juga beribadah kepada selain-Nya. Sebab Allah tidak akan mengampuni dosa syirik kepada-Nya.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [7/182] cet. Dar Thaibah)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Barangsiapa yang berdoa (beribadah) kepada sesembahan lain disamping doanya kepada Allah yang itu jelas tidak ada keterangan/pembenar atasnya, maka sesungguhnya hisabnya ada di sisi Rabbnya. Sesungguhnya orang-orang kafir itu tidak akan beruntung.” (QS. Al-Mukminun: 117)

Dalil-Dalil as-Sunnah


Adapun dalil dari as-Sunnah, diantaranya sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa yang mengucapkan laa ilaha illallah -dalam sebagian riwayat disebut ‘barangsiapa yang mentauhidkan Allah’- dan mengingkari segala sesembahan selain Allah maka terjaga harta dan darahnya, sedangkan hisabnya adalah urusan Allah.” (HR. Muslim dari Thariq al-Asyja’i radhiyallahu’anhu)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu, beliau menceritakan bahwa suatu ketika ada seorang lelaki datang kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menanyakan kepada beliau tentang iman, islam, dan ihsan. Lelaki itu berkata, “Wahai Rasulullah, apa itu Islam?”. Beliau menjawab, “Islam adalah kamu beribadah kepada Allah dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, kamu mendirikan sholat wajib, membayar zakat yang telah diwajibkan, dan berpuasa Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Sesungguhnya hak Allah atas hamba adalah mereka harus menyembah-Nya dan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun. Adapun hak hamba yang pasti diberikan Allah ‘azza wa jalla adalah Dia tidak akan menyiksa [kekal di neraka, pent] orang yang tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu’anhuma, beliau menuturkan bahwa tatkala Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu’anhu ke negeri Yaman, maka beliau berpesan kepadanya, “Sesungguhnya engkau akan mendatangi sekelompok orang dari kalangan Ahli Kitab, maka jadikanlah perkara pertama yang kamu serukan kepada mereka syahadat laa ilaha illallah.” Dalam sebagian riwayat disebutkan, “Supaya mereka mentauhidkan Allah.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tauhid Rahasia Ajaran al-Qur’an


Dari keterangan dan dalil-dalil yang telah dikemukakan di atas, teranglah bagi kita bahwa makna laa ilaha illallah adalah ‘tidak ada sesembahan yang benar selain Allah’, atau dengan ungkapan lain ‘tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah’. Artinya, segala macam bentuk ibadah hanya boleh ditujukan kepada Allah. Barangsiapa yang menujukan salah satu bentuk ibadah kepada selain Allah maka dia telah berbuat kesyirikan dan keluar dari Islam.

Inilah pokok dan intisari dari ajaran Islam dan misi dakwah seluruh nabi dan rasul ‘alaihimush sholatu was salam. Ini pula yang terkandung dalam kalimat yang senantiasa kita baca di dalam sholat Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in; “Hanya kepada-Mu kami beribadah dan Hanya kepada-Mu kami meminta pertolongan.” Ini pula yang menjadi muatan utama Kitab Suci al-Qur’an yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Syaikh Ibrahim bin ‘Amir ar-Ruhaili hafizhahullah berkata, “Barangsiapa mentadabburi Kitabullah serta membaca Kitabullah dengan penuh perenungan, niscaya dia akan mendapati bahwasanya seluruh isi al-Qur’an; dari al-Fatihah sampai an-Naas, semuanya berisi dakwah tauhid. Ia bisa jadi berupa seruan untuk bertauhid, atau bisa juga berupa peringatan dari syirik. Terkadang ia berupa penjelasan tentang keadaan orang-orang yang bertauhid dan keadaan orang-orang yang berbuat syirik. Hampir-hampir al-Qur’an tidak pernah keluar dari pembicaraan ini. Ada kalanya ia membahas tentang suatu ibadah yang Allah syari’atkan dan Allah terangkan hukum-hukumnya, maka ini merupakan rincian dari ajaran tauhid…” (lihat Transkrip Syarh al-Qawa’id al-Arba’, hal. 22)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Sebagaimana dikatakan oleh sebagian salaf bahwa al-Fatihah menyimpan rahasia [ajaran] al-Qur’an, sedangkan rahasia surat ini adalah kalimat ‘Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in‘. Bagian yang pertama (Iyyaka na’budu) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari syirik. Adapun bagian yang kedua (Iyyaka nasta’in) adalah pernyataan sikap berlepas diri dari [kemandirian] daya dan kekuatan, serta menyerahkan [segala urusan] kepada Allah ‘azza wa jalla. Makna semacam ini dapat ditemukan dalam banyak ayat al-Qur’an.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [1/34] cet. at-Taufiqiyah)

Ayat Iyyaka na’budu wa iyyaka nasta’in mengandung pemurnian ibadah semata-mata kepada Allah. Dalam ayat ini objeknya didahulukan (iyyaka), padahal biasanya ia diletakkan di belakang. Menurut kaidah bahasa arab hal ini menunjukkan pembatasan dan pengkhususan. Sehingga arti ayat ini menjadi, “Kami tidak beribadah kecuali hanya kepada-Mu. Dan kami tidak memohon pertolongan kecuali kepada-Mu.” (lihat al-Majmu’ah al-Kamilah [1/35])

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad al-Badr hafizhahullah berkata, “Di dalamnya terkandung penetapan tauhid uluhiyah. Dikedepankannya objek yaitu kata Iyyaka memberikan makna pembatasan. Sehingga memberikan arti; “Kami mengkhususkan ibadah dan isti’anah/permintaan tolong hanya kepada-Mu, dan kami tidak mempersekutukan siapa pun bersama-Mu.”.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 57)

Syaikh Abdul Muhsin al-Abbad hafizhahullah menerangkan, “Tauhid uluhiyah adalah mengesakan Allah dengan perbuatan-perbuatan hamba, seperti dalam hal doa, istighotsah/memohon keselamatan, isti’adzah/meminta perlindungan, menyembelih, bernadzar, dan lain sebagainya. Itu semuanya wajib ditujukan oleh hamba kepada Allah semata dan tidak mempersekutukan-Nya dalam hal itu/ibadah dengan sesuatu apapun.” (lihat Qathfu al-Jana ad-Dani, hal. 56)

Ayat Iyyaka na’budu juga mengandung bantahan bagi pelaku kemusyrikan. Syaikh Shalih bin Fauzan al-Fauzan hafizhahullah mengatakan, “Di dalamnya juga terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang beribadah kepada selain Allah subhanahu wa ta’ala. Iyyaka na’budu mengandung pemurnian ibadah untuk Allah semata; sehingga di dalamnya terkandung bantahan bagi orang-orang musyrik yang menyertakan selain Allah dalam beribadah kepada-Nya.” (lihat Syarh Ba’dhu Fawa’id Surah al-Fatihah, hal. 9)

Sebuah realita yang sangat menyedihkan adalah banyak diantara kaum muslimin di masa kita sekarang ini yang mengucapkan Iyyaka na’budu wa Iyyaka nasta’in, akan tetapi mereka tidak memperhatikan kandungan maknanya sama sekali. Mereka tidak memurnikan ibadahnya kepada Allah semata. Mereka juga beribadah kepada selain-Nya. Seperti halnya orang-orang yang berdoa kepada Rasul shallallahu ‘alaihi wa sallam, berdoa kepada Husain, kepada Abdul Qadir Jailani, Badawi, dan lain sebagainya. Ini semua termasuk perbuatan syirik akbar dan dosa yang tidak akan diampuni pelakunya apabila dia mati dalam keadaan belum bertaubat darinya (lihat Tafsir Surah al-Fatihah, hal. 19-20)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya barangsiapa yang mempersekutukan Allah maka Allah haramkan atasnya surga dan tempat tinggalnya adalah neraka, dan tidak ada bagi orang-orang zalim itu penolong.” (QS. Al-Ma’idah: 72)

Dakwah Para Nabi Melawan Kekafiran


Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Ingatlah ketika Ibrahim berkata kepada ayah dan kaumnya: Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kalian sembah, kecuali Dzat yang menciptakan diriku, karena sesungguhnya Dia pasti akan memberikan petunjuk kepadaku.” (QS. Az-Zukhruf: 26-27)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah ada teladan yang baik untuk kalian pada diri Ibrahim dan orang-orang yang bersamanya (para nabi), yaitu ketika mereka berkata kepada kaumnya: ‘Sesungguhnya kami berlepas diri dari kalian dan dari segala yang kalian sembah selain Allah. Kami mengingkari kalian, dan telah jelas antara kami dengan kalian permusuhan dan kebencian untuk selama-lamanya, sampai kalian mau beriman kepada Allah saja…” (QS. Al-Mumtahanah: 4).

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Dan ingatlah ketika Allah bertanya; Wahai Isa bin Maryam, apakah engkau berkata kepada manusia: Jadikanlah aku dan ibuku sebagai dua sesembahan selain Allah. Maka Isa menjawab: Maha suci Engkau, tidak layak bagiku untuk mengatakan sesuatu yang bukan menjadi hakku. Jika aku telah mengatakannya pastilah Engkau sudah mengetahuinya. Engkau mengetahui apa yang ada pada diriku dan aku tidak mengetahui apa yang ada pada diri-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mengetahui perkara yang gaib.” (QS. Al-Ma’idah: 116)

Allah ta’ala berfirman (yang artinya), “Tidaklah pantas bagi seorang manusia yang diberikan Allah kepadanya al-Kitab, hukum dan kenabian lantas berkata kepada manusia: Jadilah kalian sebagai pemuja diriku sebagai tandingan untuk Allah. Akan tetapi jadilah kalian rabbani dengan sebab apa yang kalian ajarkan berupa al-Kitab dan apa yang kalian pelajari. Dan tidaklah dia memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan nabi-nabi sebagai sesembahan. Apakah dia hendak memerintahkan kalian kafir setelah kalian memeluk Islam?” (QS. Ali ‘Imran: 79-80)

Ibnu Juraij dan sekelompok ulama tafsir yang lain menjelaskan, bahwa maksud dari ayat ini adalah, “Muhammad -shallallahu ‘alaihi wa sallam- tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan, sebagaimana halnya yang dilakukan oleh kaum Quraisy dan Shabi’in yang berkeyakinan bahwa malaikat adalah putri-putri Allah. Tidak juga sebagaimana kaum Yahudi dan Nasrani yang berkeyakinan tentang ‘Isa al-Masih dan ‘Uzair seperti apa yang mereka ucapkan [bahwa mereka adalah anak Allah, pent].” (lihat Ma’alim at-Tanzil, hal. 220 oleh Imam al-Baghawi)

Disebutkan dalam riwayat, bahwasanya suatu ketika orang-orang Yahudi datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kemudian mereka berkata, “Apakah kamu wahai Muhammad ingin untuk kami jadikan sebagai rabb/sesembahan?” Maka Allah pun menurunkan ayat di atas sebagai tanggapan untuk mereka (lihat al-Jami’ li Ahkam al-Qur’an [5/187] oleh Imam al-Qurthubi)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah menerangkan, “Lalu Allah berfirman (yang artinya), “Dan dia tidaklah memerintahkan kalian untuk menjadikan malaikat dan para nabi sebagai sesembahan” yaitu dia tidak memerintahkan kalian untuk beribadah kepada siapapun selain Allah, baik kepada nabi yang diutus ataupun malaikat yang dekat -dengan Allah-. “Apakah dia akan memerintahkan kalian kepada kekafiran setelah kalian memeluk Islam?”. Artinya dia [rasul] tidak melakukan hal itu. Karena barangsiapa yang mengajak kepada peribadatan kepada selain Allah maka dia telah mengajak kepada kekafiran. Padahal para nabi hanyalah memerintahkan kepada keimanan; yaitu beribadah kepada Allah semata yang tidak ada sekutu bagi-Nya.” Hal itu sebagaimana firman Allah ta’ala (yang artinya), “Dan tidaklah Kami mengutus sebelum engkau seorang rasul pun kecuali Kami wahyukan kepadanya bahwa tidak ada sesembahan -yang benar- selain Aku, maka sembahlah Aku [saja].” (QS. Al-Anbiya': 25) dst.” (lihat Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim [2/67])

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages