Sentuhan Kulit Dengan Wanita, Batalkah Wudhu Kita?

Masalah batal atau tidaknya wudhu kita saat bersentuhan dengan wanita  memang ada sedikit khilafiyah di antara para ulama mazhab. Hal itu disebabkan perbedaan dalil yang mereka gunakan, serta perbedaan interpretasi dan kesimpulan hukum yang mereka ambil.

Secara umum, memang ada dua pendapat. Pendapat pertama adalah pendapat yang mengatakan bahwa sentuhan kulit itu membatalkan wudhu'. Dan pendapat kedua tidak membatalkan.

Pendapat Yang Membatalkan :

Jumhur Ulama Umumnya para ulama baik mazhab Al-Malikiyah, Asy-Syafi'iyah dan Al-Hanabilah bersepakat bahwa menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk hal yang membatalkan wudhu.

Pendapat tentang batalnya wudhu oleh sebab sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita didasarkan pada ketetapan Al-Quran Al-Karim, yaitu :

أَوْ لاَمَسْتُمُ النِّسَاء فَلَمْ تَجِدُواْ مَاء فَتَيَمَّمُواْ صَعِيدًا طَيِّبًا

atau kamu telah menyentuh perempuan, kemudian kamu tidak mendapat air, maka bertayamumlah kamu dengan tanah yang baik. (QS. An-Nisa : 43)

Namun mereka berbeda pendapat tentang batasan dari menyentuh kulit itu.

1. Mazhab Al-Malikiyah


Mazhab Al-Malikiyah mengatakan bahwa sentuhan kulit laki-laki dan wanita itu membatalkan wudhu apabila disertai dengan ladzdzah (لذّة) yang mengiringinya, yaitu kenikmatan atau nafsu. Baik yang tersentuh itu bagain kulit, rambut, atau kuku dari wanita.

Bahkan juga meski pun ada kain tipis yang melapisinya, namun sempat ada rasa ladzdzah itu, maka hal itu dianggap membatalkan wudhu'.

Maka bila wanita yang tersentuh itu seorang anak kecil yang secara umum tidak akan melahirkan rasa ladzdzah itu, hukumnya tidak dianggap membatalkan wudhu'. Demikian juga bila yang disentuh itu wanita yang masih mahram, juga tidak membatalkan wudhu'.

Sedangkan ciuman di mulut menurut mazhab ini jelas membatalkan wudhu, lepas dari apakah ada nafsu atau tidak.

2. Mazhab Asy-Syafi'iyah

Di dalam mazhab Asy-Syafi'iyah sentuhan kulit yang membatalkan wudhu itu hanya apabila terpenuhi beberapa syarat, antara lain :

Kedua pihak yaitu laki-laki dan wanita, dimana masing-masing bisa menjadi objek yang apabila tersentuh, menimbulkan syahwat, meski secara umur belum dibilang baligh.
Sentuhan terjadi tanpa memperhatikan pengaruhnya pada masing-masing, apakah ada ladzdzah (kenikmatan), syahwat atau tidak ada pengaruhnya. Asalkan sentuhan terjadi, sengaja atau tidak sengaja, maka wudhu' dianggap batal.
Yang tersentuh adalah kulit dengan kulit secara langsung tanpa alas atau pelapis. Sedangkan bila yang tersentuh itu terlapisi dengan kain, maka dianggap tidak membatalkan wudhu'.
Bagian tubuh yang apabila tersentuh membatalkan wudhu adalah kulit, yang maksudnya adalah yang ada dagingnya. Maka bila yang tersentuh kuku, gigi atau rambut, justru tidak dianggap membatalkan. Alasannya karena kuku, gigi dan rambut bukan bagian dari daging manusia.

Tidak dibedakan antara pihak yang menyentuh dan yang disentuh, apabila sentuhan terjadi maka keduanya sama-sama mengalami batalnya wudhu'.
Sentuhan kulit antara sejenis tidak membatalkan, meski pun menimbulkan syahwat bagi orang yang tidak normal. Maka pasangan lesbian atau homoseks bila bersentuhan kulit, tidak batal wudhu'nya. Lepas dari haramnya tindakan lesbian dan homoseksual.

3. Mazhab Al-Hanabilah


Di dalam mazhab Al-Hanabilah, ketentuan sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang membatalkan wudhu adalah bila sentuhan yang mengakibatkan syahwat dan terjadi antara kulit laki-laki dan kulit perempuan tanpa hail (حائل) atau pelapis.

Maka sentuhan kulit dengan wanita yang menjadi mahram, atau wanita yang masih kecil, tidak akan menimbulkan syahwat. Begitu juga dengan wanita yang sudah tua renta, atau dengan mayat wanita, tidak akan menimbulkan syahwat secara normalnya.

Pendapat Yang Tidak Membatalkan :

Al-Hanafiyah

Sedangkan pendapat yang paling berbeda dalam masalah sentuhan kulit antara laki-laki dan perempuan adalah mazhab Al-Hanafiyah. Mazhab ini secara tegas menolak bahwa sentuhan kulit membatalkan wudhu'.

Sedangkan ayat Al-Quran yang secara zahir tegas sekali menyebutkan batalnya wudhu karena sentuhan antara laki-laki dan perempuan, oleh mazhab ini ditafsirkan menjadi hubungan suami istri atau jima'.

Kata au lamastumunnisa' (أو لمستم النساء) yang seharusnya menentuh wanita, oleh mazhab ini ditafsirkan maknanya menjadi makna kiasan atau hubungan seksual.

Selain itu mazhab ini berdalil dengan hadits yang menyebutkan bahwa Rasulullah SAW menyentuh tubuh istrinya dalam keadaan shalat, namun beliau tidak batal dan meneruskan shalatnya.

عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ : كُنْتُ أَنَامُ بَيْنَ يَدَيْ رَسُول اللَّهِ وَرِجْلاَيَ فِي قِبْلَتِهِ فَإِذَا سَجَدَ غَمَزَنِي فَقَبَضْتُ رِجْلِي فَإِذَا قَامَ بَسَطْتُهُمَا

Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata,"Aku sedang tidur di depan Rasulullah SAW dan kakiku berada pada arah kiblatnya. Bila Rasulullah SAW sujud, beliau beliau sentuh kakiku sehingga kutarik kedua kakiku. Jika beliau bangkit berdiri kembali kuluruskan kakiku. Aisyah bercerita bahwa pada waktu itu tidak ada lampu di rumah (HR Bukhari Muslim).

وَعَنْهَا أَنَّهُ قَبَّل بَعْضَ نِسَائِهِ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلاَةِ وَلَمْ يَتَوَضَّأْ

Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu' lagi. (HR. Tirmizy) .

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pages